Merdeka Belajar  adalah suatu pendekatan yang dilakukan supaya siswa dan mahasiswa bisa memilih pelajaran yang diminati. Merdeka disini berarti memberi kebebasan bagi setiap manusia baik para peserta didik maupun pengajar memiliki kebebasan masing-masing dalam memilih topik, metode, dan alat pembelajaran sesuai keinginan peserta didik. Karena di zaman yang modern ini, ilmu tidak hanya bersumber dari guru atau sebatas ruang kelas. Tetapi bisa juga dari luar kelas seperti media online, internet, perpustakaan, dan lain-lain. Konsep ini terdiri atas tiga komponen yaitu mandiri dalam menentukan pilihan cara belajar, dan melakukan refleksi terhadap proses dan hasil belajar.

“Konsep Merdeka Belajar bukan merupakan karangan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek), tetapi diambil dari filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, yang kemudian menjadi semboyan di lambang Kemdikbudristek yaitu Tut Wuri Handayani yang berarti dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan,” tegas Dr. Ir. Kiki Yuliati, M.Sc., Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi (Dirjen Diksi) Kemdikbudristek, Jumat (26/5/2023) di Politeknik Negeri Ambon, saat membuka Workshop Peningkatan Kapasitas PTK Menuju Politeknik Berdaya Saing Global.

Menurut Dirjen Diksi, dalam Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara dikatakan bahwa pendidikan diselenggarakan untuk menuju kesempurnaan hidup. Oleh karena itu, pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah harus diselenggarakan sesuai dengan siswanya, sesuai dengan tempat dan situasinya, serta sesuai dengan zamannya. Pendidikan sampai kapanpun tetap sama, namun caranya yang bisa berbeda sesuai dengan perkembangan zaman.

“Pendidikan tetap sama, tetapi caranya yang berbeda. Merdeka Belajar adalah persoalan caranya, tetapi pendidikan yang menuju kepada kesempurnaan hidup, harus sesuai dengan zamannya, dan memperhatikan minat dan bakat peserta didik itu tetap,” kata Dirjen.

Dosen Universitas Sriwijaya ini menambahkan pula bahwa saat ini baik guru, dosen atau masyarakat jangan pernah alergi dengan perubahan terhadap kurikulum. Karena kalau kurikulum mengikuti teknologi dan teknologi berubah-ubah, maka tidak mungkin tidak mengubah kurikulum.

“Aneh, kalau kita mengajar anak-anak tahun 2023 yang akan bekerja di masa mendatang dengan pendekatan dan kurikulum tahun 1976. Jadi jangan alergi mengubah kurikulum, sebab kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak kita,” tandas Dirjen Diksi.

Pada kesempatan itu juga, Direktur Politeknik Negeri Ambon (Polnam), dalam welcome speech, menyampaikan  kebanggaannya atas kehadiran Dirjen Diksi di Politeknik Negeri Ambon beserta para pimpinan di Dirjen Diksi. Menurut Direktur kedatangan Dirjen Diksi dan rombongan semakin menyemangati seluruh civitas akademika untuk berkarya bagi Polnam dan kemajuan pendidikan tinggi vokasi di Indonesia.

Turut hadir bersama Dirjen Diksi dalam workshop tersebut Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Pendidikan Vokasi, Fajar Subkhan, dan pimpinan Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi lainnya. (Humas)